My Love

Wednesday, December 24, 2008

Biografi

JALALUDDIN ar – RUMI

Jalaluddin Muhammad ar-Rumi dilahirkan pada 6 Rabi’ul awal tahun 604 Hijriah di Balka, salah satu wilayah Afghanistan.

Ayahnya bernama Muhammad bergelar Bahauddin Walad, tokoh ulama dan guru besar di negerinya di masa itu, yang juga bergelar Suthanul – Ulama. Menurut catatan, nasabnya sampai pada Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Semasa hidupnya, Bahauddin Walad banyak melancarkan kritik kepada Ulama Modern yang getol mempelajari dan mengajarkan berbagai ilmu rasio sehingga mengakibatkan kecenderungan berpaling dari Al-Quran dan Hadits.

Sebagai guru berkarisma besar, baik bagi kaum awam maupun di mata kelompok tertentu (khas), tidak heran jika fatwanya senantiasa didengar orang di mana-mana. Banyak yang menaruh respek kepadanya. Namun, barangkali justru hal itulah yang membuat sementara ulama lain menaruh rasa iri. Mereka lalu mencoba melancarkan fitnah dan mengadukannya kepada penguasa. Sungguh pun demikian, simpati orang kepadanya sedikit pun tidak berkurang. Pendapat dan fatwanya tetap dijadikan pedoman. Itulah sebabnya penguasa waktu itu mengisyaratkannya agar meninggalkan negeri. Selanjutnya, Bahauddin bersama seluruh keluarganya lalu terpaksa hijrah. Dalam pengembaraannya ra sempat singgah di berbagai kota. Dan ternyata di mana-mana ra mendapatkan sambutan hangat. Dengan ajakan Aluddin Kaiqidad, seorang penguasa Rum yang sangat hormat kepadanya, akhirnya ia memutuskan tinggal di Kauniyah. Peristiwa itu terjadi pada tahun 626 Hijriah.

Di Kauniyah, Syekh Bahauddin menetap dua tahun, dan pada tahun 638 ra meninggal dunia. Yang menggantikan, tentu saja putranya yang pintar itu, Jalaluddin ar-Rumi. Seorang penguasa bernama Badruddin kahartasy kemudian membangun sekolah untuk Jalaluddin. Nama sekolah itu “Sekolah Khadawan dakar”. Sebagai direktur, Jalaluddin meneruskan jejak Ayahnya dalam pengajaran dan pendidikan. Namun kedudukan yang cukup tinggi itu tidak menghalangi dia untuk tetap belajar, memperluas cakrawala pengetahuannya dan memperdalam ilmu-ilmunya.

Pada tahun 630, Jalaluddin pergi ke negeri Syam dan bermukim disana selama setahun. Di negeri tersebut ra memasuki sekolah al-Halawiyah yang berpusat di Haleb. Di sekolah itu, ra sempat berguru kepada kamaluddin bin al-Adim. Banyak Ulama Haleb secara jujur mengakui kecerdasan dan kepandaian Jalaluddin. Ia dianggap mempunyai wawasan luas, khususnya dalam bidang ilmu.

Dari Haleb, Jalaluddin pindah ke Damaskus dan disana ia memasuki sekolah al-Muqaddasiyah. Di sekolah ini ia bertemu dengan syekh Muhyiddin ibn Arabi, Sa’aduddin al-Hamawi, Utsman ar-Rumi, Auhaduddin al-Karmani dan Shadruddin al-Qounawi.

Pada 634 Hijriah, Jalaluddin kembali lagi ke kota Kauniyah. Ia tetap aktif mengajar dan menberikan fatwa. Ketika itu banyak ulama dan tokoh terkemuka yang hijrah dari negerinya karena fitnah dan kekejaman para penyerbu bangsa Tartar-bergabung dan berkumpul di kota Kauniyah. Tak heran jika Kauniyah kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia. Di Kauniyah itu pula murid-murid Syekh Muhyiddin ibn Arabi bermukim, diantaranya Syekh Shadruddin al-Qounawi.

Madrasah yang dipimpin Jalaluddin semarak dan ramai. Tidak kurang 4.000 murid belajar di situ. Keadaan ini terus berlangsung sampai saat terjadinya peristiwa yang mampu mengubah arus kehidupannya hampir secara drastis. Namun justru kejadian itu pula yang menyebabkan namanya menjadi semakin terkenal dan berpengaruh.

Pada Jumadil-akhir 642 Hijriah, datang seorang lelaki beraliran sufi dari Tabris sebuah daerah di wilayah Iran-di Kauniah. Namanya Muhammad bin Ali bin Malik Daad, tetapi lebih dikenal dengan “Syamsi Tabriz”. Tidak banyak tahu nasib (asal) keturunannya. Ceritanya, suatu hari, seperti biasanya ketika Jalaluddin sedang memberikan pelajaran di depan khalayaknya dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya pada hari itu, tiba-tiba seorang lelaki asing bernama Syamsuddin alias Syamsi Tabriz bertanya “Apa yang dimaksud dengan riyadah dan ilmu?”

Mendengar pertanyaan itu Jalaluddin terkesima, kiranya apa yang dikemukakan Syamsuddin itu benar jitu dan tepat mengenai sasaran. Sejak saat itu Jalaluddin mulai lengket dengan Syamsuddin yang kemudian menjadi gurunya. Bahkan keduanya tinggal bersama dalam sebuah kamar selama 10 hari. Ada pula yang mengatakan, bersama guru barunya itu Jalaluddin selama enam bulan mengasingkan diri di dalam kamar Shalahuddin Zarkub ad-DUkak. Tidak seorang pun berani masuk ke kamar, kecuali si pemilik kamar.

Kini Jalaluddin seperti menemukan semangat baru. Baginya, gurunya yang baru itu adalah segala-galanya. Gurunya itulah kemudian banyak menunjukkan kepadanya berbagai kebenaran. Tidak mengherankan bila dalam sebuah sajaknya ia menulis:

“Sesungguhnya Syamsi Tabriz itulah yang menunjukiku jalan kebenaran. Dialah yang mempertebal keyakinan dan keimananku.”

Sementara itu, anak lelaki Jalaluddin, Sultan walau sempat berkomentar :

“Sesungguhnya seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”

Jalaluddin benar-benar tunduk kepada guru barunya. Di matanya Syamsi Tabriz benar-benar sempurna, kendati karena itu ia mulai jauh dari murid-muridnya. Para muridnya memang merasakan hal itu. Mereka menggerutu :

“Telah kami habiskan usia kami untuk mengabdi kepada guru, kami sudah banyak melihat kekeramatannya. Tetapi tiba-tiba datang orang asing yang lalu bertemu dan beranjangsana dengannya. Lelaki asing itu tentu seorang tukang sihir yang pintar dan licik.

Tak pelak lagi timbul permusuhan dan rasa benci murid-muridnya terhadap Syamsuddin yang semakin hari kian menjadi. Mereka malahan bermaksud mengusirnya dari Kauniyah. Agar mereka bisa kembali leluasa berkumpul dengan gurunya. Namun Syamsuddin sendiri menerima perlakuan tersebut dengan sangat sabar dan santun. Tetapi ketika sikap mereka sudah melampaui batas, maka Syamsuddin mulai khawatir bahwa malapetaka dan fitnah akan menimpa dirinya. Lalau dengan sembunyi-sembunyi ra akhirnya meninggalkan Kauniyah setelah itu selama satu tahun empat bulan ra menetap di kota itu.

Alangkah sedih dan gundahnya Jalaluddin ditinggalkan gurunya itu ia selalu menjauhkan diri dari seluruh muridnya. Ia tidak membiarkan mereka mengganggunya.

Rupanya Jalaluddin bermaksud memutuskan hubungan dengan manusia. Ia ingin menyendiri, sampai pada suatu hari ia dikagetkan oleh datanya sepucuk surat dari gurunya, Syamsuddin yang memang sudah lama didambakan dan dinantikannya. Dalam surat itu tertulis alamat gurunya di Damaskus. Betapa senang hati Jalaluddin saat menerimanya. Sejak saat itu, ia tampak berubah. Ia lantas mau memberikan pelajaran kepada para muridnya kembali.

Kepada guru yang senantiasa dirindukannya itu, Jalaluddin menulis sepucuk surat yang isinya menyerupai sajak percintaan.

Suasana di sekitar Jalaluddin pun mulai pulih. Orang-orang sudah mulai tenang kembali. Dan Jalaluddin tahu bahwa mereka tidak akan memusuhi dan menyakiti Syamsuddin lagi. Mereka kelihatan menyesal. Lalu Jalaluddin mengutus Sultan Walad anak lelakinya untuk menemui Syamsuddin dengan membawa berbagai hadiah yang menyenangkan, sambil mengharapkan kesudian Syamsuddin kembali ke Kauniyah. Jalaluddin juga meminta putranya memohonkan maaf atas perlakuan muridnya.

Dan untuk memenuhi permintaan Jalaluddin, beliau pun kembali ke Kauniyah. Alangkah gembira hati Jalaluddin menyambut kembalinya sang guru. Rasanya Jalaluddin ingin selalu bersamanya, namun keinginannya tersebut tinggal sebagai keinginan, karena takdir Allah menghendaki lain. Saat-saat manis yang tengah direguk Salaluddin bersama gurunya ternyata tidak bisa bertahan lama. Datang lagi fitnah baru dari putranya Salaluddin sendiri, bernama Syalbi Alauddin. Untuk yang kedua kalinya Syamsuddin harus angkat kaki dari Kauniyah.

Jalaluddin benar-benar terpukul menerima kenyataan getir itu. Perilakunya yang bagai gila kambuh lagi. Setiap orang yang ikut menyakiti Syamsuddin, ia marahi dan ia usir. Untungnya, kali ini Jalaluddin masih tetap aktif mengajar Peristiwa ini terjadi pada tahun 645 Hijriah. Kemudian Jalaluddin berusaha mencari gurunya ke segenap penjuru.

Jalaluddin lalu pergi ke negeri Syam untuk mencari Syamsuddin. Tidak bosan-bosannya ia mencari dan senantiasa berusaha mencari. Dan ketika Jalaluddin bersama para sahabatnya sampai di Damaskus, penduduk setempat menyambutnya dengan penuh hormat dan rasa ingin tahu. Mereka sangat gandrung terhadap tokoh ini. Ada diantara warga yang dengan takjub berkata “Bagaimana orang yang sedemikian pintar, dinamis dan alim bisa kebingungan?”. Meskipun tidak juga berhasil menemukan Syamsuddin, lama-lama jiwanya Jalaluddin tenang juga. Ia berkata kepada dirinya sendiri “Antara aku dan Syamsuddin sama sekali tidak ada bedanya. Jika ia matahari, aku serbuk cahayanya. Jika ra laut, aku bahteranya. Serbuk cahaya bersumber pada matahari dan kehidupan perahu (bahtera) pada laut.”

Lalu ia kembali. Namun ternyata rasa rindu kepada sang guru, ia kembali berangkat ke Damaskus. Dan ternyata usahanya kembali gagal, ia pulang ke Kauniyah dengan pasrah dan yakin bahwa ia adalah bagian dari gurunya, kemudian Shalahuddin ad-Dukak ia dijadikan sebagai teman dalam kesedihannya. Sepuluh tahun lamanya Shalahuddin menemaninya dalam keadaan seperti itu. Pada tahun 658 Hijriah, Shalahuddin meninggal.

Sebagai gantinya, Jalaluddin kini menjadikan Syal Hasanuddin sebagai kawan perintang kesepiannya. Hasamuddin inilah yang mengilhami kelahiran sajak-sajak “al-Matsnawr”-nya. Pada tanggal 5 Jumadil-akhir tahun 672 Hijriah, Jalaluddin ar-Rumi pun akhirnya tutup usia.


à Komentar

Dari biografi Jalaluddin ar-Rumi yang telah dipaparkan, menunjukkan bahwa ia seorang tokoh yang kuat dan peka perasaan, memiliki semangat yang tinggi dan hati yang lembut. Ia mempunyai Kemauan keras, tetapi penuh cinta kasih. Ia mampu menyimpan percik bunga api yang cemerlang itu dalam ilmu-ilmu dhahir sambil menambah upaya melalui akal.

Dan menurut sumber yang saya baca, Jalaluddin ar-Rumi adalah seorang yang benar-benar genius. Karena ra memiliki daya kreativitas yang tinggi. Ia ibarat tungku yang selalu menyala. Mata hatinya senantiasa terbuka. Jiwanya amat sensitif. Perasaan batinnya terus menerus hidup. Sorot matanya mampu menyingkapkan tabir sehingga tidak heran bila ia memahami hakikat yang tersembunyi di balik kata-kata. Di dalam sanubarinya terhimpun berbagai ilmu sejati. Dan itulah yang memenuhi piala kalbunya hingga melimpah.

Tatkala pembicaraannya mengenai ilmu kalam sudah mendominasi masa kehidupan Jalaluddin, bahkan juga berbagai masalah akidah dan ketuhanan serta hakikatnya yang kasat mata seperti ketuhanan berikut sifat-sifatNya, masalah kenabian, wahyu, neraka, surga dan lain sebagainya, telah menjadi topik pembahasan dan perdebatan serta bahan gunjingan yang aktual dimana-mana, sehingga banyak yang ingin menghilangkannya. Hal itu memang menimbulkan keguncangan dalam akidah. Tapi semua masalah itu justru dijadikan Jalaluddin topik dan tema sajak-sajak “Al-Matsunawi”-nya.


DAFTAR PUSTAKA

Nadwi, Abul Hasan an – 2004. Jalaludin Rumi Sufi Penyair Terbesar... Jakarta : Pustaka Firdaus