Kejujuran Saya
W |
ajah saya datar. Saat Wafit mengangkat tangan sebagai tanda kemenangan, setiap sikap saya biasa-biasa. Bahkan saat ketua panitia kejuaraan badminton menyerahkan piala, saya hanya tersenyum kecil. Sikap biasa-biasa ini terus berlanjut saat saya mengikuti syukuran yang diadakan kedua orang tuaku. Tetangga, keluarga, dan beberapa teman Bapak saya sengaja di undang.
Hadirin bertepuk tangan, sementara saya tetap diam. Sikap itu terus berlanjut hingga keesokan harinya. Kedua orang tua saya agak mencurigai saya, namun mereka diam saja.
Suatu sore, dengan sepeda gunung ku, saya meluncur ke rumah adit.
“Selamat ya San kamu memang hebat.
Cemesan mu kemarin lumayan juga. Tapi enggak apa-apa. Cemesan seorang sahabat tidak akan menyakitkan. “ Puji Adit sambil menahan rasa nyeri di dadanya.
“Langsung saja, Dit. Aku kesini untuk memintamu membongkar semua kebohongan ini. Orang tua saya harus tahu bahwa semuanya hanya pura-pura saj.
Bilang sama orang tua saya, bahwa akulah yang memintamu mengalah.......”
Adit tidak berani menyela kata-kata saya yang serius.
“Dit, lebih baik aku kalah, tapi lega. Dari pada menang, tapi tidak tenang.”
Sambung saya. Dan sore itu, di ruang makan rumah saya, pembicaraan antara keluarga saya berlangsung tegang. Bapak saya menatap Adit serius.
“Kenapa kamu lakukan itu, Dit?”
“saya tidak tega, om,”kata Adit sambil mengangkat kepalanya perlahan.
“Tapi kamu telah membohongi sahabatmu sendiri, “timpal Bapaknya.
“Maafkan Adit, om.”
Saya menarik nafas panjang. Tatapan lurus ke muka Bapak.
“Bukan Adit, pak tapi saya yang salah semua atas permintaan saya.”
Saya menjelaskan bahwa ia terpaksa membujuk Adit agar mengalah dalam pertandingan. Ia tidak tahan oleh papinya.
Saya belum merasa jadi juara. Saya takut membuat papinya marah. Orang tuaku membisu. Namun sesaat kemudian, tiba-tiba ia bangkit. Tanganya menyambar pergelangan adat dan saya. Sambaran itu begitu hebat hingga kami tidak bisa meronta. Bapak mengajak Adit dan saya kehalaman belakang “Kalian tunggu disini”.
Selanjutnya, Bapak masuk. Tak lama berselang, dia kembali ke halaman belakang dengan meneteng sepasang raket Bagus.
“Bertanding lah sebagai pemain badminton sejati. Tanpa kebohongan, tanpa kepura-puraan !” ujarnya sambil menyahkan sepasang roket itu. Hati kami bergumuruh. Mereka tak bisa protes saat disuruh besiap-siap.
Setelah memerintah mereka saling hormat, Bapak menarik tangan sebagai aba-aba dimulainya pertandingan badminton.
Kami tak punya pilihan. Kamipun bertanding badminton. Saya mengeluarkan semua kemampuan saya. Teknik cemesan, bertahan, bergantian saya layangkan. Demikian juga Adit kini cemesan adit melayang sungguh-sungguh. Dan pada saat tak terduga......
“ yaa!!! Cemesan keras Adit medarat dipojok lapangan badminton. Cemesan itu bertanda bahwa saya kalah sama Adit :
“saya langsung sadar, bahwa saya tidak apa-apanya “saya sambil menundukan kepala saya.
“Jangan ngomong gitu kamu juga bagus kok mainnya “kata dia yang sambil bergembira atas kemenangan pertandingan ini.
Bapak langsung kami minuman segar sambil ngomong” kalian itu sesungguhnya kekuatan dan teknik mainya itu sama bagusnya”
No comments:
Post a Comment