My Love

Thursday, December 25, 2008

Cerpen Men

ENTAH KENAPA AKU SELALU SUKA MELIHAT PUNCAK.

Mungkin karena kebun-kebun tehnya yang sepanjang tahun terlihat hijau segar. Mungkin karena udaranya yang selalu sejuk, bahkan bisa amat dingin. Mungkin karena aku bisa makan jagung bakar manis pedas sambil menenggak teh botol. Mungkin juga karena banyak tempat wisata yang bisa dikunjungi di sekitarnya, Taman Safari Cisarua, Kota Bunga, Taman Bunga Nusantara, Taman Nasional Cibodas, Puncak Resort, Kebun Teh Gunung Mas, serta aneka kompleks peristirahatan lain.

Yang pasti karena aku besar dan lahir di Jakarta yang pengap dan panas, pergi ke Puncak seolah penyegaran diri. Puncak bagai arena relaksasi yang membuatku bisa selalu tegar menghadapi kesemrawutan Jakarta dari hari ke hari.

Sayangnya, aku bukan berasal dari keluarga berada. Jarang aku bisa jalan-jalan ke Puncak. Tidak seperti Yuri, Agnes, dan Dinda yang keluarganya mempunyai vila di Puncak. Bagi mereka, pergi ke Puncak setiap Minggu mulai terasa membosankan. Aku juga bukan seperti Ovi atau Moza yang selalu bisa jalan ke mana-mana. Mereka sudah boleh menyetir dan diberi mobil sendiri. Aku hanya pergi ke Puncak kalau sekolah mengadakan acara di sana atau ada orang yang mengajak jalan-jalan.

"Kamu mau ke Puncak lagi?" Ibuku, seorang ibu rumah tangga biasa dengan tiga anak, bertanya sambil menyetrika pakaian. Bapakku sedang mengajar, dia seorang guru SMP yang mengajar di tiga sekolah sepanjang pagi hingga sore agar bisa memenuhi kebutuhan keluarga.

"Iya. Sama Yuri juga, kayak kemarin-kemarin."

"Oh, yang Bapaknya bos pabrik cat?" Boleh dibilang Ibu hampir kenal semua temanku yang pernah main ke rumah.

"Iya."

"Pergi ke vilanya lagi dong?"

"Vila kakeknya."

"Ya, sama lah. Apa bedanya vila Bapaknya Yuri sama vila Kakeknya? Sama-sama vila keluarganya sendiri."

"Jadi, boleh Vida pergi?"

"Enggak nginep bareng teman kalian yang cowok kan? Itu si Agus, Rudi, sama siapa itu yang rese? Anu... si David?" Sebagai anak tertua dari tiga anak perempuan, aku mengerti Ibu mengawasiku sedikit lebih ketat dari adik-adikku yang masih SMP dan SD.

"Enggaklah, Bu. Mana mau Kakek Yuri vilanya diacak-acak mereka. Kemarin-kemarin kan tiap ke vila Kakeknya, selalu teman cewek yang ikut. Sekarang Yuri malah cuma ngajak Vida."

"Kok cuma berdua?"

"Habis yang lain pada punya acara sendiri." Aku berbohong. "Ya sudah. Kalau pulang nanti, jangan lupa beliin Ibu jagung manis sama wortel."

Sebuah BMW silver yang mulus mengilap mernasuki jalan kecil yang penuh anak-anak kecil hermain di tengah jalan. Mobil itu lantas berhenti di depan rumahku.

"Mbak Vida, temennya udah ngejemput." Mia, adikku terkecil yang masih kelas tiga SD, lari ke dalam kamarku.

"Jalan ya, Bu. Minta izin sama Bapak, Vida pulang besok sore dari Puncak. Mungkin habis magrib sampe rumah." Aku mencium tangan Ibu.

"Yurinya mana?" Ibu yang mengantarku sampai ke pintu depan melihat hanya Pak Andi di dalam mobil.

"Nanti Mbak Yuri nyusul. Dia belum mandi," jawab Pak Andi, sopir yang menjemputku, sopan.

Ibu tertawa. Dia sering berkata kepadaku anak orang kaya. kebanyakan malas. Aku naik ke bangku belakang mobil. Ibu bersama Mia melambaikan tangan saat mobil BMW itu membawaku pergi.

Aku menghela napas lega.

Sepertinya, semua yang sudah direncanakannya berjalan mulus.

"Langsung ke vila kan?" tanyaku ke Pak Andi.

"Iya. Mbak Yuri kan nanti malam baru ke Puncak."

"Kok tadi kamu bilang Yuri nyusul?"

"Kan sudah dipesan begitu. Malam kan nyusul juga namanya," kata Pak Andi sambil nyengir. Dia mengambil sebuah CD dan menyetelnya.

Alunan lembut lagu Since I Found You dari Christian Bautista terdengar.

"Yuri baru beli ya?" Aku sangat suka lagu itu. Senang sekali rasanya duduk di mobil yang nyaman dengan lagu yang membuai hati.

"Bukan Mbak Yuri. Tadi saya yang beli. Disuruh mampir ke toko kaset beli CD ini dulu. Katanya buat disetelin selama perjalanan Mbak Vida ke Puncak."

Oh, romantisnya. Dia memang tahu seleraku.

Aku sungguh menikmati lagu itu. Pasti dia terpikir untuk membelikannya setelah aku menelepon kemarin lewat wartel.

"Kamu lagi suka lagu apa?" Suara gagah, tapi sopan di telepon membuai telingaku.

"Christian Bautista."

"Yang album pertama atau yang kedua?"

Ternyata, dia kenal juga dengan Christian Bautista. Aku senang karena pembicaraan kami selalu nyambung. "Yang baru dong." "Everything You Do atau Since I Found You?"

"Tau aja yang ngetop. Tapi Vida lebih suka Since I Found You."

"Itu lagu bagus. Saya merasa harus tau semua yang lagi trend. Kalau kita enggak ngikutin selera anak-anak sekarang, nanti bisnis enggak jalan." Dia tertawa dengan santun. Itu salah satu hal yang membuatnya berbeda dengan teman-teman cowokku yang kalau tertawa, ngakak seperti orang gila. Mungkin karena dibesarkan dalam lingkungan santun dan bangsawan, lelaki ini sikapnya menjadi `sopan dan beradab'.

Dulu, kupikir sikapnya itu jaim banget dan enggak gue banget'. Semakin jauh mengenalnya, kini aku beranggapan mungkin sikapnya itu yang membuatku suka. Apakah ini juga yang dirasakan seorang artis sinetron kala bertemu cucu mantan orang nomor satu Indonesia? Yang lincah bertemu dengan yang kalem?

Mungkin sama seperti yang kurasakan.

Di jalan tol, Pak Andi berhenti sejenak.

"Ngapain berhenti? Nanti kesorean sampe Puncak."

Pak Andi tak berkata apa-apa. Dia mengeluarkan sebuah kotak berwarna keemasan dengan pita berwarna senada yang tadi ditaruh dalam sebuah kantung belanjaan di bangku sampingnya.

"Ini buat Mbak Vida. Saya dipesan suruh ngasih kalau sudah sampe jalan tol."

Aku menerima kotak itu.

Pak Andi kembali menjalankan mobil.

Aku takjub memandang kotak berwarna keemasan ini. Apa kira-kira isinya?

Penasaran, kotak itu segera kubuka. Karena kertas pembungkus dan pitanya begitu indah, aku berusaha sedapat mungkin tidak terlalu merusaknya. Jujur saja, seumur hidup baru kali ini aku mendapat kado yang dibungkus dengan amat mewah.

Aku melongo saat melihat isinya. Sebuah kotak bergambar handphone Nokia 7370. Apakah isinya juga handphone? Soalnya, aku pernah mendapat hadiah dari teman sekelas saat ulang tahunku yang ke-16. Di dalam kotak handphone, aku mendapat sebuah T- shirt ketat.

Jangan norak Vida, aku mengingatkan diri sendiri. Lelaki itu sudah punya usaha sendiri. Memberi sebuah handphone dengan harga jutaan rupiah tidak akan membuatnya bangkrut.

Tetap saja aku melongo saat mengeluarkan isinya. Benar¬benar Nokia 7370. Tanganku gemetar kala memegang handphone berwarna keemasan dengan motif daun dan bunga. Handphone yang mewah. Seingatku, di sekolah cuma Yuri dan Mathilda yang mempunyai handphone seperti ini.

Bagaimana aku tak gemetaran menerimanya? Sebelumnya, aku belum punya handphone. Aku pernah merengek minta dibelikan

yang murah ke Bapak, tapi tidak pernah ditanggapi.

"Itu sudah ada nomornya di dalam. Nada dering ama lainnya sudah diset juga." Pak Andi mengagetkanku dari pikiran yang melayang entah ke mana.

"Oh ya? Asik banget." Aku amat bersyukur.

"Tekan tombol yang itu, Mbak. Soalnya, saya dipesan agar Mbak Vida ngaktifin HP-nya."

Kuikuti ucapan Pak Andi. Setelah tombol ditekan, handphone

menyala. Pasti dia sudah memikirkan semuanya dengan matang. Saat aku masih mengagumi barang itu, handphone berbunyi.

Aku gemetar. Sederet nomor muncul di layar. Pasti dari dia. "Halo." Biasa melihat handphone Yuri, aku sudah tau cara

menerima clan menutup pembicaraan.

"Ini Mas Hadi." Dia menyebutkan nama. "Dafi tadi saya nyoba nelepon ke nomor kamu. Baru sekarang bisa masuk."

"Handphone-nya juga barn diaktifin." Aku agak grogi. Aku tahu Pak Andi menguping pembicaraan. Tapi masa bodohlah. Pasti dia sudah mengatur semuanya dengan baik. Aku yakin Pak Andi tak akan membicarakan hubungan kami ke mana-mana, termasuk ke Yuri.

"Maafin saya lancang." Saudara Yuri ini selalu penuh tata krama. "Saya sudah berpikir mau ngasih kamu handphone dari dulu. Takutnya kamu tersinggung. Kamu suka handphone-nya?"

Aku hendak berkata, 'suka banget'. Tapi yang keluar malah ucapan, "Ini terlalu mahal buat Vida."

"Enggaklah. Saya lihat Yuri juga pake handphone begitu."

Sebagai saudara Yuri, dia pasti tahu temanku memakai handphone begini keren. Wajar saja, Yuri kan anak orang kaya. Tapi aku?

"Nanti kalau Ibu atau Bapak di rumah nanya dari mana Vida

dapat handphone ini gimana? Enggak mungkin kan Vida umpetin handphone-nya di rumah?"

"Ngg... gimana ya?" Dia berpikir sejenak. "Kalau kamu bilang itu hadiah dari teman gimana?"

Otakku bekerja. Ucapan itu memang jujur. Kenyataannya handphone ini memang hadiah dari teman. Tapi `teman seperti apa' yang bisa memberi memberi kamu hadiah semahal itu? Bisa kubayangkan Ibu dan Bapak akan terus-terusan menanyaiku.

"Kok diam?"

"Entar deh, Vida pikirin gimana cara ngasih tau Ibu sama Bapak soal handphone ini."

"Oke. Bilang Pak Andi jangan terlalu pelan nyetirnya. Saya udah enggak sabar nunggu kamu. Ini lagi nyiapin barbeque di samping kolam renang."

Sejam kemudian, barulah aku tiba di vila milik Kakek Yuri.

Di depan gerbang, Pak Andi perlu menelepon dulu dengan handphone-nya ke vila utama. Soalnya jarak pintu gerbang ke bangunan vila cukup jauh. Kalau Pak Andi hanya membunyikan klakson, pembantu di dalam vila sering tidak mendengar.

Tak terlalu lama, muncul seorang pembantu laki-laki. Dia membukakan gerbang dengan amat sopan.

"Mbak Vida disuruh langsung ke kolatn renang aja. Minuman ama makanannya sudah disiapkan di sana."

Halaman yang luas, dengan banyak pohon cemara dan bunga berwarna-warni di mana-mana, menyambut mobil masuk. Ada tiga bangunan terdapat di sini. Vila utama, tempat tinggal Kakek Yuri dan dua vila lebih kecil yang biasa digunakan kerabat atau teman-teman Kakeknya menginap.

"Dulu saudara-saudara Yuri, yang dari Tebet, Bogor, Bandung pada rajin kemari. Sekarang sih jarang. Lagian Kakeknya kurang suka kalau terlalu banyak tamu," kata Pak Andi.

Tasku dihawa Pak Andi menuju vila paling ujung. Tempatku biasa menginap bersama Yuri. Aku yang sudah tahu letak kolam renang di samping vila utama dan vila tamu yang kedua langsung berjalan ke sana.

Mas Hadi, lelaki yang tadi meneleponku, tengah sibuk di depan panci panggang untuk barbeque yang penuh dengan potongan daging, kentang, tomat, dan jagung. Dia sendirian di depan vila tamu yang kedua.

Sopir memang pernah memberitahuku, "Kalau Kakeknya Mbak Yuri enggak kemari, vila ini kosong. Paling dijaga pembantu-pembantu doang."

Bibir Mas Hadi membentuk senyum lebar melihat kedatanganku. Dia mengenakan sweater putih beraksen merah yang membuat wajahnya tampak cerah. Rambut ikalnya yang hitam tampak tebal dan berminyak.

"Capek di jalan?" Suaranya hangat dan menggetarkan. Aku menggeleng.

"Suka lagu Since I Found You-nya?"

Aku tersenyum.

"Saya juga beli CD Christian Bautista buat didenger di kamar. Romantis banget lagunya."

Aku tak menyahut. Entah kenapa, setiap kali bertemu dengannya, aku seperti sulit bicara. Semua hal yang sudah kupikir dan hendak kukatakan seakan menguap begitu saja.

Daging di atas panggangan mendesis. Dengan cekatan, tangan Mas Hadi yang berotot tanda rajin olahraga membalik daging dengan penjepit. "Mau hantu manggang?" Diserahkannya penjepit

kepadaku. "Saya mau siapkan dulu saus barbeque lada hitamnya (II dapur. Harus langsung dibuat. Biar enak waktu disiram ke daging Panas-panas. Nyess!"

Aku membalik-balik potongan daging. Lantas, kentang, ,

dan jagung kuoles dengan mentega yang sudah disiapkan di atas meja makan. Potongan daging sendiri kuoles dengan campuran entah apa yang sudah disiapkan Mas Hadi.

Sambil memanggang, kupandangi seluruh kompleks vila ini.

Betapa beruntungnya Yuri dilahirkan di keluarga yang kaya raya. Kalau tidak berteman dengannya, mungkin aku tak pernah bisa merasakan gaya hidup mewah. Boro-boro aku bisa memanggang daging barbeque. Di rumahku, daging hanya tersaji di meja makan saat tanggal muda.

Enam bulan lalu untuk pertama kalinya aku bertemu Mas Hadi, di vila ini juga.

"Kenalin. Nih 'Abang gue' yang funky." Yuri memperkenalkan aku dan teman-teman.

"Hadi." Dia menyebut nama dengan senyum tersungging. "Panggil saya Mas aja. Anggap saya Kakaknya Yuri."

"Rumahnya sebenarnya di Bandung. Kebetulan aja dia lagi kemari. Dia sih emang seperti Abang gue sendiri." Yuri menerangkan kemudian. "Kalo ada Abang gue Beni yang sekarang di Australia, mereka biasa main catur sambil ngobrol semalaman. Kalo Beni gak kemari, dia juga males kemari."

"Pasti tajir." Nola yang mata duitan tertawa genit.

"Dia punya pabrik farmasi."

"Wow!" Semua mata teman-temanku membulat.

Mas Hadi muncul membuyarkan lamunanku. "Sudah matang tuh. Jangan sampai gosong," dia mengingatkan. Di tangannya, ada penggorengan datar berisi cairan kental kecokelatan yang baru mendidih. Bau saus barbeque menyebar di udara membuatku amat lapar,

Potongan daging kami atur di atas piring. Lantas saus barbeque disiramkan di atasnya.

Hmmm. Apa yang lebih nikmat daripada makan daging barbeque dengan saus lada hitam di udara dingin?

"Ayo makan."

Sedikit grogi aku menggunakan garpu dan pisau untuk memotong daging. Tak sengaja sepotong daging mencelat jatuh. Mas Hadi hanya tersenyum.

Mukaku memerah bagai kepiting rebus. Untung tidak ada Yuri atau orang lain. Kalau tidak, pasti aku habis ditertawakannya.

"Santai aja." Mas Hadi memotong dan memakan dagingnya dengan cekatan.

Aku berusaha mengikuti caranya.

Usai menikmati barbeque, baru aku masuk kamar.

Tasku ada di atas meja di samping ranjang. Di sampingnya, ada sebuah kotak perhiasan berwarna merah berpita emas. Sebuah amplop kecil tergeletak di dekat kotak.

Tulisan "untuk Vida' di amplop surat membuatku berani membukanya.

Kertas putih di dalam amplop itu berbunyi, "Keindahan dan kemurnian sikapmu membuatku mengerti bahwa hidup ini memang indah. Berlian pun masih tak bisa dibandingkan dengan keindahan dirimu. Hadi."

Gila!

Cuma orang mabuk atau benar-benar jatuh cinta yang bisa menulis kalimat seperti ini. Aku merasa bingung. Meski sedikit ge-er, kupikir aku tak sehebat sanjungannya.

Tak urung kubuka juga kotak perhiasan itu.

Sebuah cincin bersinar kemilau terlihat. Wow. Pasti matanya dari berlian.

Kupegang dan kutatapi cincin itu. Ibuku saja tak pernah memiliki cincin bermata kemilau seperti ini.

Kalau kukenakan bagaimana nanti pendapat orang tuaku? Meski demikian, kucoba mengenakan cincinnya.

Pas sekali di jariku.

Tanganku yang kurus langsung terlihat menarik dengan cincin berlian menghias jari. Jam murahan yang kukenakan di pergelangan tangan menjadi semakin tidak menarik dibandingkan cincin ini.

Kutimang-timang cincin itu.

Sepertinya, Mas Hadi memang amat serius mencintaiku.

Buru-buru kubereskan semua kertas pembungkus dan hal-hal lain yang sekiranya bisa membuat Yuri curiga aku punya hubungan dengan saudaranya. Jangan sampai Yuri bilang begini. "Gila lo! Pantesan lo semangat terus ke Puncak. Rupanya lo pacaran ama dia?"

Kertas pembungkus mudah saja kubuang di tempat sampah. Bagaimana dengan kotak handphone? Tak mungkin kubuang karena buku petunjuk, charger, dan perlengkapan lain ada di dalamnya. Lantas hendak kukemanakan kotak perhiasan dan kartu ucapan itu?

Akhirnya, aku meminta koran bekas ke pelayan. Kotak handphone dan kotak perhiasan kubungkus dengan rapi. Agar tak menarik perhatian, bungkusan koran itu kutaruh di laci. Toh, ada kuncinya. Besok saat hendak kembali ke Jakarta, baru bungkusan itu kubawa.

Lantas aku mandi di shower. Air hangat yang mengguyur membuatku merasa nyaman. Aku geli memikirkan ibu yang harus repot merebus air di panci kalau adikku hendak mandi subuh-subuh. Kalau jadi orang kaya, kita tinggal menekan tombol. Mau air panas atau dingin sudah tersedia.

Terus terang aku menikmati semua ini.

Seandainya aku bisa jadian dengan Mas Hadi, tentu aku akan bisa menikmati kehidupan seperti ini sehari-hari. Mungkin aku bisa juga memberi uang untuk sekolah adik-adikku.

"Gimana?" Mas Hadi menghampiriku yang sedang mengagumi aneka bunga dahlia berwarna kuning dan merah yang kelopaknya amat besar di halaman vila. "Suka dengan cincinnya?"

"Itu terlalu mahal dan terlalu bagus. Handphone-nya juga terlalu bagus buat saya."

Mas Hadi tertawa kecil. "Enggak ada barang yang terasa mahal untuk gadis secantik kamu."

"Entahlah," aku memberanikan diri berkata jujur. "Saya malah takut memakai semuanya. Barangnya saya taruh di lemari semua." "Lho, buat apa saya beli kalau kamu enggak mau?"

Aku menunduk.

"Saya serius dengan kamu, Vida." Mas Hadi memetik setangkai bunga dahlia berwarna merah cerah dan menyematkannya di rambutku. Aku tak kuasa menolak. Meski sedikit gemetar, kubiarkan dia melakukannya.

"Saya banyak kenal teman-teman Yuri, juga teman-teman kakaknya yang di Jakarta. Tapi semuanya enggak membuat saya tergerak untuk mengenal mereka lebih jauh. Beda dengan kamu."

Aku mencoba untuk mengalihkan perhatian ke pegunungan yang terbentang luas di belakang vila. Kabut mulai turun membuat puncaknya tak terlihat.

"Mungkin karena mereka orang kaya sehingga suka bersikap sombong dan seenaknya. Saya enggak suka dengan orang yang sombong. Tapi saya yakin, kalaupun kaya raya, kamu pasti akan tetap rendah hati. Saya bisa melihat hati kamu benar-benar tulus."

"Mas Hadi kan belum kenal betul sama saya?"

"Cukup beberapa bulan untuk mengenal seseorang lebih jauh. Saya jarang salah menilai orang. Saya yakin kamu akan menjadi istri yang baik kalau kita menikah."

Aku tersentak. Dia betul-betul ingin menikah denganku!

"Kakak Yuri, Beni, yang di Australia bulan kemarin kemari. Ngobrol dengan saya. Dia bilang mau menikah enam bulan lagi sama orang Bandung. Terms istrinya bakal diajak ke Australia. Lantas dia hartanya, apa saya enggak mau menikah? Kalau saya mau menikah, dia bilang saya saja duluan, baru diatur tanggal nikahnya Beni. Kan saya lebih tua."

Aku ingat. Yuri pernah bercerita soal Kakaknya yang kini tinggal dan bekerja di Australia.

"Beni mau ngatur asal saya mau honeymoon di Australia. Dia bisa pilihkan tempat bulan madu yang paling mewah dan paling romantis." Mas Hadi tiba-tiba menyentuh tanganku. "Kalau kamu mau, kita bisa atur secepatnya hari pernikahan kita."

Aku tak menjawab.

"Jangan terlalu lama mikirnya."

Sebuah Landcruiser hitam datang. Seorang gadis manis keluar dari mobil itu. Dia Yuri, teman sekelasku.

"Si centil itu sudah keburu sampai. Padahal, saya bilang dia tibanya malam saja ke sini." Suara Mas Hadi terdengar seperti mengeluh. "Kalau dia sudah datang, kita enggak bisa bermesraan lagi."

Benar ucapannya.

"Jadi gimana, Vida?" Mas Hadi berbisik. "Kamu mau kan menerima cinta saya?"

Aku masih diam. Pilihan ini sebenarnya mudah. Aku pasti akan menjawab ya saat ini juga seandainya....

Seandainya Mas Hadi bukan kakek Yuri dan umurnya lebih tua dariku empat puluh lima tahun!

No comments: