My Love

Wednesday, December 24, 2008

Cerpen Chooi ?

Janjiku Biar Hancur,

Tetap Jujur

Aku adalah siswa salah satu SMP di kotaku empat bulan lagi, aku akan melaksanakan ujian nasional yaitu untuk mata pelajaran matematika, bahasa Indonesia, IPA, dan Bahasa Inggris. Sabtu 13 Oktober yang lalu, kebetulan jam pelajaran terakhir di kelasku kosong. Teman-temanku mengadakan rapat ini tidak biasa terjadi. Aku pun menanggapinya dengan cuek. Namun betapa terkejutnya aku mendengar apa yang mereka rencanakan. “Teman-teman, sempat bulan lagi kita ujian kan, gimana kalau kita semua bekerja sama. Aku yakin tidak ada yang tidak ingin lulus, “ujar Dimas didepan kelas.

“Ya, setuju, setuju,” seru sebagian besar yang lain. “Tunggu-tunggu. Tapi kita semua harus benar-benar kompak. Jangan ada yang nggak ikut!?”

Sambung Rendi.

“Eh semuanya, kita buat perjanjian aja. Kalau ada yang berkhianat, kita musuhi aja. Kalau perlu kita kroyok dia rame-rame. Gimana, setuju?!” tambah Desta.

“Ya, benar. Lagian tega banget sih. Memangnya tidak kasihan kalau ada yang nggak lulus.” Ujar Dimas dengan penuh emosi.

“Nah, sekarang ayo kita kumpul ke sini buat merencanakan trrik-trik yang akan kita gunakan!” perintah Angga. Mereka menggerombol jadi satu. Aku terbeku di bangku ku. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Hatiku penuh dengan amarah. Namun tanganku lemah tak berdaya. Ingin rasanya aku berlari dari kelas yang berisi para pendusta itu aku seperti ditakdirkan untuk jadi saksi atas rencana mereka.

“ya Tuhan, Bencana apa yang akan datang, kenapa teman-teman ku jadi buta hari seperti itu. Tidakkah mereka takut kepada-Mu? Lindungi aku dari mereka, Tuhan,” hatiku terus meronta-ronta meminta perlindungannya. Kelas menjadi gaduh ketika setiap anak mulai mengeluarkan pendapatnya.

“Diam, diam, diam!” sentak Angga, aku terbelalak. Rasa deg degan dihatiku bertambah kencang. Dengan berbisik Angga menjelaskan strategi mencontek yang akan digunakan. Tidak begitu oleh telingaku. Setelah itu masing-masing kembali ke tempat duduknya. Tidak sedikit dari mereka yang menangis. Mereka bukan menangisi perbuatannya, melainkan menangisi karena takut tidak lulus. Kini hatiku menjadi iba. Sempat terbisik dorongan untuk tergantung dengan mereka. Namun, “tidak!” hati kecilku menolak. Ini memang berat. Tapi aku harus bertahan. Aku memang berat. Tapi aku harus bertahan. Aku memang sayang pada mereka tetapi aku juga tidak mungkin mengkhianati.

Meski nanti mereka akan mengetahui aku sombong. Aku akan terima. Aku sadar, aku bukan anak yang jenius dan aku bukan yang terbaik diantara mereka. Tapi aku yakin kalau Tuhan akan memberikan yang terbaik untukku, selama aku menjadi orang baik. Bila memang aku gagal dalam UNAS nanti, itu adalah takdir. Keputusan Tuhan tidak pernah salah. Inilah janjiku.

Tiba-tiba Dimas maju ke depan kelas, “teman-teman, buat kalian yang biasanya pelit untuk berbagi jawaban, kali ini aku mohon banget hilangkan sifat itu sesaat,” kata Dimas.

Ya, betul. Sekarang coba kita pikir. Kita telah bersama hampir tiga tahun. memang, permusuhan terkadang menghiasi pertemanan kita. Tapi apa mungkin kita tidak sedih jika melihat salah satu diantara kita tidak lulus. Pikir deh!” dukung Angga. “Teman-teman, kalau ada diantar kalian yang pernah sakit hati gara-gara aku, aku mohon maaf banget. Tolong ya kalian jangan pelit.” Pinta sring dengan wajah basah karena air mata.

Yang lain menjadi ikut-ikutan. “Sekarang aja kalian bilang begitu. Semua bilang setuju. Tapi aku yakin, pasti ada yang nggak setuju. Ya nggak?” ujar Bella sambil mencibir pipiku. Pandangan teman-teman menjadi tertuju padaku. Aku seperti terdakwa. “La, besok kamu jangan egois. Memangnya kamu mau hidup sendiri di dunia ini. Hidup ini perlu tolong menolong,” bisik Sera, teman sebangkuku.

“Te...tet....tet...!” suara bel seolah-olah membuka kerongkongan bagiku untuk bernafas. Aku segera menarik sahabat baikku. Vina ke kamar mandi. “Vin, gimana?” tanyaku sambil menangis terisak-isak. “Apanya yang gimana?” rupanya Vina tak tahu mkausdku. “Vin, sungguh aku tidak mungkin bekerja sama dalam ujian nanti. Bukannya aku tidak kasihan pada teman-teman, tapi karena aku takut kepada Tuhan. Kau tau kan dia maha Tahu, dia tidak pernah tidur. Ujian adalah benih yang menentukan masa depan kita. Kalau kita tanam benih dengan cara yang haram, maka buahnya juga tidak akan baik.

Vin, aku bingung. Di suatu sisi aku tidak ingin dimusuhi terus oleh teman-temanku karena aku pelit dalam hal contek-mencontek. Tapi disisi lain, aku juga tidak mungkin mendustai Tuhan,” terangku. “La, jujur. Aku juga demikian. Tapi mau apalagi?” ujar Vina beriring isak tangis.

Senin 1 Maret. Hari ujian pun tiba. Rasa deg-degan mendekap jantungku. Rasa ingin nangis pun ada dan rasa ingin marah itu juga ada. Semua rasa berkecamuk di kalbu. Pemandangan tidak sedap menyambut kedatanganku di sekolah, karena dari kejauhan tampak ujian yang tidak terjamin kebenarannya. Sempat rasa waswas menggoda hatiku. Aku takut juga bocoran jawaban itu benar. “Oh, Tuhan, jangan biarkan kejahatan itu meraja,” pinta hatiku. “Derr!” Aku terkejut. “Pagi-pagi kok sudah melamun?” tegur Bilbina keheranan.” Soalnya aku tidak mungkin memberi sontekan disaat ujian nanti,” jawabku. “Ya ampun La, biasa saja. Lagi pula aku juga tidak akan menyontek,” terang terang Bilbina. Aku sedikit lega mendengar pernyataan Bilbima.

Ujian nasional memang telah berakhir, namun ternyata belum untuk ujian imanku. Kemarin pagi guru matematika ku memberitahuku mengenai pikiran jawaban soal ujian. Betapa terkejutnya aku. Karena pada saat dicocokkan dengan perkiraanku jawaban itu aku hanya salah 10 dari 60 soal. Dengan bercucuran air mata aku bersimpuh memanjatkan syukur kepada Tuhan yang Maha Pengasih. Namun tiba-tiba “La, kamu tidak boleh begitu. Lihat dong, teman-teman sedang bersedih. Kamu tega banget sih, senang-senang diatas penderitaan orang lain,” Tegur Rendi. Aku tersentak.

Kulihat sekelilingku. Tampak teman-teman ku menangisi kegagalannya. Aku terdiam, pikiranku mulai melukis, menerangkan segala yang terjadi. Rasa nyeri menyerang hatiku. Tuhan, sadarkanlah mereka dengan musibah ini. Saat itu kurasa hatiku semakin yakin akan kekuasaan-Nya. Pandanganku kini terbeku pada sosok yang begitu akrab dengan hari-hariku. Dialah Vina. Tampak dimataku dia tengah menangis disalah satu pojok ruangan dengan ditemani oleh Sera. Kemudian aku berjalan mendekati mereka. “Vin, kamu kenapa?” tanyaku dengan lembut. Namun Vina tidak menyahut. “Vin, kamu itu anak yang baik. Selama ujian saya kulihat kamu tidak menyontek. Jadi, aku yakin Tuhan akan menolongmu. Percayalah, kamu pasti lulus” kataku menghibur. “La, kamu jangan memujiku seperti itu,” ujar Vina dengan wajah tertutup saputangan,” Aku tidak sedang memujimu tapi aku sedang bicara kenyataan,” bantahku.

“Vin, Ser dengarkan aku baik-baik. Lulus atau tidaknya kita nanti itu adalah keputusan Tuhan. Dan kalian harus percaya kalau keputusan Tuhan itu tidak pernah salah. Tidaklah mengapa di dunia kita gagal. Yang penting di akhirat jangan. Tetaplah jaga iman kalian karena masih ada esok yang perlu kita pertanggungjawabkan. Kebahagiaan di dunia itu semu, tidak abadi. Jadi janganlah kalian halalkan segala cara untuk mendapatkannya. Kalau kalian telah merasa berusaha sekuat tenaga dan juga telah berdoa, karena saatnya kita pasrahkan semuanya kepada Tuhan. Selama usaha dan doa kita baik, Tuhan juga pasti akan memberikan yang terbaik untuk kita,” Lanjutku panjang lebar.

Siang itu, setelah dari kafe aku dan Vina memasuki kelas. Aku merasa heran karena kelas yang penuh penghuni itu sepi. Betapa tertegunnya aku melihat tatapan teman-teman yang memandangiku dengan penuh kebencian.

“La, kamu dapat nilai ujian matematika berapa? Sembilan, sepuluh, atau sebelas?” tanya Serina dengan juteknya. “Hahaha....,” teman-temen yang lain menertawakankannya. “Diam! Kalian jangan ada yang ketawa. Nggak lucu!” bentak Serina. Aku mendekati tempat duduknya. Saat aku hendak duduk, tiba-tiba... “pengkhianat!” Sentak Rendi.

Sementara itu di kamar mandi aku menangis. Aku sangat ketakutan. Perasaan aku tidak karuan. “Oh Tuhan, tolong aku. Lindungi aku dari mereka, kata-kata itu berkali-kali kuucapkan. Tiba-tiba seperti ada kekuatan besar merasuki diriku. Bersama itu hilanglah rasa takut yang menderaku. Dengan kekuatan itu aku kembali ke kelas. Semenjak hati itu rasa kesal membalut hatiku. Tidak ada sedikitpun rasa sesal dihatiku, meskipun teman-teman menjauhi ku. Aku justru bersyukur dan bangga karena aku tidak buta dan bersekutu dengan mereka.

Meski kini hasil ujian belum tampak, namun aku yakin bahwa sampai kapanpun amal baik bersumber dari hati yang dibalut erat oleh keimanan kepada Tuhan akan selalu memberikan hasil yang baik.

*SEKIAN*

No comments: